PENGERTIAN LOBBY DAN NEGOSIASI




PENGERTIAN LOBBY DAN NEGOSIASI
  1. Pengertian Lobby dan Negosiasi
a.  Pengeritan Lobby
Dalam kehidupan sehari hari kita sering mendengar istilah lobby atau dalam bahasa Indonesia disebut lobi. Sebenarnya dalam kehidupan sehari hari pun banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai proses lobby. Karena setiap orang memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda beda, dan untuk mencapai tujuan yang berbeda itu terkadang seseorang harus membujuk orang lain agar menerima ide, gagasan, nilai, yang dimilikinya sehingga sejalan dengan kepentingannya. Seorang anak kecil yang merengek orang tuanya untuk membelikan mainan pun dapat dikatakan sebagai lobby terhadap kedua orang tuanya.

Dalam kehidupan politik, lobby merupakan salah satu bagian penting karena adanya  berbagai macam kepentingan yang harus diakomodasikan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat legislatif. Karena itu lobby politik seringkali diaggap sebagai bagian dari proses mencapai kesepakatan politik antara berbagai pihak. Sementara didalam sebuah organisasi biasanya lobby dilakukan untuk membujuk pihak pihak tertentu yang berwenang dalam pengambilan keputusan agar kepentingan mereka dapat terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan organisasi.

Ditilik dari asal katanya, lobby bermakna sebagai ruang tunggu di hotel hotel. Atau bisa dikatakan sebagai tempat duduk duduk atau berkumpul. Kata melobi sendiri mulai berkembang ke arah politik terutama dikaitkan dengan aktivitas para anggota parlemen Inggris yang seringkali memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk duduk duduk di ruang lobby sambil melakukan pendekatan dengan pihak pihak lainnya.

Definisi kamus Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa melobi adalah melakukan pendekatan secara tidak resmi. Sementara menurut kamus Webster, Lobby atau Lobbying berarti: Melakukan aktivitas yang bertujuan mempengaruhi pegawai umum dan khususnya anggota legislatif dalam pembuatan peraturan. Menurut Advanced English – Indonesia Dictionary, Lobby atau Lobbying berarti: Orang atau kelompok yang mencari muka untuk mempengaruhi anggota Parlemen;. Sedangkan Lobbyist berarti: Orang yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang.

Sejalan dengan kedua definisi yang terakhir, kamus wikipedia menyebutkan bahwa lobby  merupakan tindakan berupa usaha untuk mempengaruhi keputusan keputusan yang dibuat oleh pegawai pemerintahan, kebanyakan adalah legislator atau anggota dari bagian bagian pembuat peraturan.

Definisi yang terbatas pada lingkup politik itu lantas sering dikaitkan dengan kegiatan public affairs, yakni salah satu fungsi public relations dalam kitannya dengan proses komunikasi dengan public pemerintahan. Dengan kata lain lobby pada konteks public relations  hanya terbatas pada level public affairs yang erat kaitannya dengan government relations dan bukan ditujuan  untuk hubungan dengen sektor swasta lainnya. Salah satunya yang dikembangkan oleh Cutlip, Center, dan Broom (2000) dimana menurut mereka lobby adalah bagian khusus dari public relations untuk membangun dan memelihara hubungan dengan pemerintah terutama untuk tujuan mempengaruhi legislasi dan regulasi.
Tak heran jika di sejumlah buku buku teks public relations, lobbying juga  sering dipertimbangkan sebagai sepesialisasi dari public relations (2007). Toth (1990) mendefinisikan lobbying sebagai fungsi dari manajemen isu. Sementara Toth (1986) melihat lobbying sebagai wilayah khusus dari public relations. Sementara Gut dan Masrh (2000) hanya menekankan pada peran para pelobi dalam rangka menyampaikan informasi persuasi kepada aparat pemerintahan.
Dari beberapa definisi dan literatur di atas, tampaknya lobbying yang berkembang saat ini cenderung sebagai proses mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berada di tingkat legislatif atau pemerintahan. Lebih khusus lagi ada kecenderungan bahwa posisi pelobi dalam kaitan di atas terutama ditempati oleh public affairs yang merupakan salah satu fungsi public relations dalam kaitannya dengan government relations. Beberapa uraian di atas tampaknya lebih menekankan lobbying sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengambilan keputusan di tingkat legislatif atau pemerintahan. Namun pendekatan tersebut justru mempersempit ruang lingkup lobby sendiri sebagai semata bagian dari proses politik.
Di Amerika dan Inggris umumnya, dimana lobbying pada awalnya berkembang, istilah lobby memang identik dan  hampir selalu berkaitan dengan upaya mempengaruhi pengambil kebijakan di level pemerintahan atau legislatif. umumnya lobby dilakukan oleh banyak pihak termasuk individu, kelompok atau bahkan organisasi, yang tergabung dalam perusahaan swasta, ataupun kelompok kepentingan lainnya seperti lembaga advokasi, LSM dan berbagai kelompok kepentingan lainnya. Tujuan mereka tidak lain adalah melobi pemerintah agar kepentingan mereka dapat terakomodasi dalam kebijakan pemerintah.
Sementara belakangan istilah lobby juga tidak hanya digunakan dalam rangka melakukan upaya pendekatan terhadap pengambil kebijakan politik atau legislator. Bahkan istilah lobby lebih meluas pada seluruh aktivitas untuk membujuk pengambil kebijakan tidak terbatas pada level legislatif atau pemerintahan agar mereka mempertimbangkan kepentingan pelobi atau pihak yang diwakili pelobi dalam output kebijakan atau aturan, namun lebih dari itu lobbying bisa juga digunakan untuk kepentingan yang lebih luas meliputi kontrak kerja, MOU, atau kesepakatan lainnya. AB Susanto dalam oleh Redi Panuju (2010: 18) misalnya tidak menekankan  definisinya semata pada lobbying politik. Menurutnya “Melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran agar terbentuk sudut pandang positif terhadap topik pelobi, dengan demikian diharapkan memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan …. Kegiatan melobi bisa jadi sama pentingnya dengan pemngembangan kompetensi profesional”
Sementara Anwar (1997) mendefinisikan lobbying lebih luas lagi, yakni suatu upaya informal dan persuasif yang dilakukan oleh satu pihak (perorangan, kelompok, Swasta, pemerintah) yang memiliki kepentingan tertentu untuk menarik dukungan dari pihak pihak yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang, sehingga target yang diinginkan tercapai. Pramono (1997) juga dalam definisinya tidak menekankan lobby sebaga proses mempengaruhi keijakan pemerintah. Menurutnya lobby merupakan suatu pressure group yang mempraktekkan kiat-kiat untuk mempengaruhi orang-orang dan berupaya mendapatkan relasi yang bermanfaat. Definisi ini juga semata menekankan lobby sebagai sarana untuk membangun koalisi dengan organisasi- organisasi lain dengan berbagai tujuan dan kepentingan.
Dari berbagai definisi di atas ada sebuah titik temu, yakni adanya usaha dari pelobi untuk mempengaruhi sikap dari pengambil keputusan entah di level pemerintahan, legislatif atau di berbagai organisasi lainnya agar mau mempertimbangkan kepentingan di pelobi dalam kebijakan yang nantinya akan dihasilkan. Bisa dikatakan bahwa pelobi lebih bersikap pro aktif dalam melakukan pendekatan kepada pihak lain dalam hal ini pengambil keputusan/kebijakan agar mengakomodasi kepentingan pelobi.

b. Karakteristik  Lobbying
1.    Bersifat tidak resmi/ Informal dapat dilakukan diluar forum atau perundingan yang secara resmi disepakati .
2.    Bentuk dapat beragam dapat berupa obrolan yang dimulai dengan tegursapa, atau dengan surat
3.    Waktu dan tempat dapat kapan dan dimana saja sebatas dalam kondisi wajar atau suasana memungkinkan. Waktu yang dipilih atau dipergunakan  dapat mendukung dan menciptakan suasan yang menyenangkan, sehingga orang dapat bersikap rilek dan
4.    Pelaku /aktor atau pihak yang melakukan lobbying dapat beragam dan siapa saja yakni pihak yang bekepentingan dapat pihak eksekutif atau pemerintahan, pihak legislatif, kalangan bisnis, aktifis LSM, tokoh masyarakat atau ormas, atau pihak lain yang terkait pada obyek lobby.
5.    Bila dibutuhkan dapat melibatkan pihak ketiga untuk perantara
6.    Arah pendekatan dapat bersifat satu arah pihak yang melobi harus aktif mendekati pihak  yang dilobi. Pelobi diharapkan tidak bersikap pasif atau menunggu pihak lain sehingga terkesan kurang perhatian.
c.  Target Kegiatan Lobi :
ü  Mempengaruhi kebijakan.
ü  Menarik dukungan
ü  Memenangkan prasyarat kontrak/ dalam kegiatan /bisnis
ü  Memudahkan urusan
ü  Memperoleh akses untuk kegiatan berikutnya.
ü  Menyampaikan informasi untuk memperjelas kegiatan.
ü  Dilema etik atas kehadiran para pelobi

Dengan semakin banyaknya lobby lobby politik belakangan ini memunculkan banyak tanda tanya terutama di kalangan publik yang mengenai transparansi dalam proses lobbying tersebut, diantara berbagai isu tersebut adalah (Nadler dan Schulman) :
1.    Fairness /kejujuran
Banyaknya praktek praktek yang tidak etis saat ini dihubungkan dengan lobby yang membayar pembuat kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungan mereka.
2.      Transparency/transparan
Adanya tuntutan dari publik agar proses lobby yang dilakukan dapat dikontrol oleh publik. Publik menuntut adanya akses yang luas yang memungkinkan mereka dapat telibat dalam proses pembuatan keputusan
3.      Common Good/kepentingan umum
Walau bagaimana para pelobi adalah pihak yang bertindak atas kepentingan klien mereka. Hal ini tentu tidak berbeda jauh dengan seorang pengacara yang bertindak membela kepentingan klien mereka. Karena itu saat ini muncul tuntutan publik agar para pelobby bertindak untuk kepentingan umum.

2.      Pengertian Negosiasi
Sama seperti lobby, negosiasi pada dasarnya tidak dapat dihilangkan dari kehidupan sehari hari. Setiap orang pada dasarnya selalu melakukan negosiasi dengan orang lain agar kepentingannya dapat tercapai. Negosiasi pada dasarnya merupakan kegiatan tawar menawar yang dilakukan oleh dua (2) pihak agar kepentingan masing-masing dapat terakomodasi dengan baik. Negosiasi karena itu merupakan proses untuk mencapai kesepakatan antara dua pihak.  Misalnya, Saat seorang calon karyawan melakukan proses tawar menawar gaji juga merupakan bagian dari proses negosiasi.
Negosiasi pada dasarnya merupakan proses untuk mencapai suatu titik temu. Dengan demikian negosiasi adalah alat ataupun sarana bagi dua pihak untuk saling mempengaruhi. McCormack dalam bukunya On Negotiating (1995) menyebutkan bahwa negosiasi merupakan suatu proses untuk memperoleh hal hal yang terbaik pada saat pihak lain mulai bertindak sesuai dengan kepentingannya.
Berikut beberapa penjabaran negosiasi. Diantaranya Hartman menyebutkan negosiasi sebagai proses komunikasi antara dua pihak, yang masing-masing mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama.
Sementara itu Oliver mendefinisikan negosiasi lebih kepada proses jual beli, dimana kondisi ini mencerminkan posisi keduanya yang seimbang seperti halnya pembeli berhak memperoleh barang sesuai dengan harga yang dikeluarkan sebaliknya penjual juga berhak memperoleh keuntungan sesuai kualitas barang yang ditawarkannya. Oliver mendefinisikan lobbying sebagai sebuah transaksi dimana kedua belah pihak mempunyai hak atas hasil akhir. Hal ini memerlukan persetujuan kedua belah pihak sehingga terjadi proses yang saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Sedangkan menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Dari beberapa uraian diatas diatas, dapat dikemukakan bahwa suatu proses negosiasi selalu melibatkan dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi, mencari suatu kesepakatan bagi kedua belah pihak dan mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Hasil akhir dari proses negosiasi itu sendiri merupakan kesepakatan bersama
Negosiasi adalah suatu proses yang dinamis, yang melibatkan penyesuaian diantara dua pihak yang terlibat, dimana masing masing pihak memiliki kepentingan berbeda. Komunikasi dua arah yang dikemukakan Fisher, misalnya memberikan gambaran bahwa proses negosiasi tidak seharusnya bersifat linier atau searah, dimana ada salah satu pihak yang menguasai jalannya proses negosiasi dan tidak memberi kesempatan pada pihak lain untuk memperoleh haknya.
Menilik dari uraian tersebut di atas, semestinya jika kedua belah pihak yang bernegosiasi tidak berusaha untuk mengalahkan salah satu pihak, sehingga hasil dari kesepakatan tersebut menguntungkan semua pihak yang terlibat. Artinya, tidak ada satupun pihak yang merasa dikalahkan atau dirugikan akibat adanya kesepakatan dalam bernegosiasi. Meskipun pada kenyatannya tidak selalu negosiasi berakhir dengan memuaskan semua pihak.
Dari berbagai uraian tersebut, jelas bahwa dalam proses negosiasi masing masing pihak yang terlibat tersebut harus beritikad baik untuk berusaha secara bersama sama mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kepentingan keduanya. Meskipun ada kalanya  hasil dari negosiasi itu adalah kesepakatan untuk tidak bersepakat terhadap sesuatu hal yang sedang dinegosiasikan tersebut.
a.    Mengapa Perlu Negosiasi?
Dalam kehidupan sehari hari manusia tidak dapat dilepaskan dari kepentingan baik itu dalam kapasitasnya sebagi individu ataupun pada level organisasi. Di satu sisi manusia menginginkan agar kepentingannya tetap terakomodasi namun di sisi lain, tidak semua kepentingannya sejalan dengan kepentingan orang lain. Di sinilah pentingnya negosiasi, yakni sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai konflik ataupun masalah yang muncul sebagai akibat benturan kepentingan tersebut.
Pada dasarnya sejumlah pihak berusaha untuk berdamai dan melakukan negosiasi karena dua alasan ( Rogers, 2002) :
1.      Untuk menciptakan sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh masing masing pihak.
2.      Untuk menyelesaikan masalah atau menolak diantara pihak pihak yang terlibat. Karena orang dapat bernegosiasi mengenai banyak hal yang berbeda, memahami proses dasar dari negosiasi merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang yang melakukan kerjasama dengan orang lain.
b.      Karakteristik dari suatu negosiasi.
Ada setidaknya 6 karakterisitik yang mendorong dilakukannya negosiasi. Diantaranya , sebagaimana yang disebutkan oleh Helen Rogers:
1.    terdapat dua atau lebih pihak, dimana terdiri dari dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi.
2.    terdapat suatu konflik kepentingan diantara dua atau lebih pihak, dimana apa yang diinginkan salah satu pihak tidak selalu diinginkan oleh pihak lain , dan oleh karena itu pihak pihak yang terlibat mencari cara penyelesaian konflik tersebut.
3.    pihak pihak tersebut melakukan negosiasi karena mereka berpikir mereka dapat menggunakan sejumlah pengaruh untuk memperoleh kesepakatan yang lebih baik
4.    pihak pihak yang yang terlibat, minimal pada saat terjadi masalah atau sengketa, lebih suka mencari kesepakatan dibadingkan dengan berkonflik secara langsung, melakukan kesepakatan sepihak, memutuskan hubungan atau menolak adanya pihak penengah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
5.    ketika kita melakukan negosiai, kita berharap adalah saling timbal balik (take and give). Kita berharap kedua pihak akan saling memodifikasi atau memberikan sesuatu dari pernyataan atau permintaan mereka. Meskipun kedua pihak pihak yang bersengketa mungkin pada awalnya berdebat keras untuk memperoleh apa yang mereka inginkan , masing masing saling mendorong untuk berdamai , biasanya kedua pihak akan memodifikasi kedudukan masing masing.
6.    negosiasi yang berhasil melibatkan manajemen yang tak nampak (intangibles) sekaligus penyelesaian yanga dapat terlihat (tangibles) (misalnya harga atau daftar kesepakatan). Faktor faktor yang tidak dapat dilihat tersebut mendasari motivasi psikologis yang mungkin secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pihak pihak yang terlibat selama proses negosiasi.
c.       Jenis negosiator
Ada dua macam negosiator :
1.      Value claimers
Memandang negosiasi sebagai suatu proses pertikaianmasing masing pihak berusaha mendapatkan sebanyak mungkin jatah atau kemenangan dan memberikan sesedikit mungkin jatah atau kemengan bagi pihak lawannya
2.      Value creators
Mengutamakan proses yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Mencoba untuk menciptakan nilai tambah bagi kedua belah pihak yang bernegosiasi.cara yang digunakan adalah dengan mengembangkan hubungan yang kolaboratif, penyesuaikan kepentingan kedua belah pihak, bersikap ramah dan kooperatif.

d.      Tujuan Negosiasi
Pada dasarnya ada beberapa tujuan yang hendak dicapai para pihak yang terlibat dalam proses negosiasi. Yang menjadi pokok persoalan, dalam proses negosiasi kadang tidak semua pihak mau mengakui dan menempatkan kepentingan pihak lawan sama kedudukannya dengan kepentingan dirinya sendiri. Karena itu ada beberapa tujuan pihak pihak yang terlibat dalam proses diplomasi:
ü  Tujuan Agresif, berusahan memperoleh keuntungan dari kerugian (damage) pihak lawan.
ü  Tujuan Kompetitif, berusaha memperoleh sesuatu yang lebih (getting more) dari pihak lawan
ü  Tujuan Kooperatif, berusaha memperoleh kesepakatan yang saling menguntungkan (mutual gain)
ü  Tujuan Pemusatan Diri, berusaha memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan penerimaan pihak lain.
ü  Tujuan Defensif, berusaha memperoleh hasil dengan menghindari yang negatif
ü  Tujuan Kombinasi

e.       Paradigma Negosiasi.
Pada dasarnya ada dua paradigma yang dapat muncul dari proses negosiasi, yakni apakah masing masing pihak terpuaskan dan terakomodasi kepentingannya tanpa merasa dirugikan oleh pihak lawan, atau ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
1.      Negosiasi Menang – Kalah (Win – Lose)
ü  Sudut pandang klasik yang memandang bargaining sebagai situasi win-lose, jika salah satu pihak menang maka pihak lain akan kalah
ü  Disebut juga negosiasi Zero – Sum atau negosiasi distributive
ü  Asumsi; sumber daya terbatas (limited resources) dan proses negosiasi untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan sumber daya tersebut
2.      Negosiasi Menang – Menang (Win – Win)
ü  Sudut pandang modern yang memandang negosiasi sebagai situasi win-win, di mana kedua belah pihak mendapat keuntungan sebagai hasil dari negosiasi.
ü  Disebut juga negosiasi positive – sum atau negosiasi integrative[1]



[1] https://nensisilvia.wordpress.com/2015/07/07/pengertian-lobby-negosiasi-dan-diplomasi/

Komentar

Postingan Populer