PENGERTIAN PETISI DAN CONTOHNYA




PENGERTIAN PETISI

1.      Pengertian Petisi
Petisi adalah pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal. Hak petisi ada pada warga negara dan juga badan-badan pemerintahan, seperti kotapraja, kabupaten dan provinsi agar pemerintah pusat membela atau memperjuangkan kepentingan daerahnya. Petisi juga berarti sebuah dokumen tertulis resmi yang disampaikan kepada pihak berwenang untuk mendapatkan persetujuan dari pihak tersebut. Biasanya, hal ini ditandatangani oleh beberapa orang, menunjukkan bahwa sekelompok besar orang mendukung permintaan yang terdapat dalam dokumen. Di beberapa negara, hak masyarakat untuk mengajukan petisi dilindungi oleh hukum. Negara tersebut memiliki sistem hukum yang didasarkan pada sistem hukum Inggris (merujuk pada Magna Carta).
Secara politik, petisi dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan pada pemungutan suara di beberapa negara dengan asumsi bahwa cukup banyak orang menandatangani surat dukungan tersebut Petisi juga dapat digunakan untuk mencabut undang-undang atau untuk mengingatkan pejabat terpilih. Dalam kasus lain, petisi dapat digunakan untuk mengajukan permohonan masyarakat. Misalnya sekelompok orang yang menginginkan taman bagi anjing dapat membuat petisi dan membawa petisi tersebut ke pertemuan dewan[1].
2.      Petisi soetardjo
Petisi Soetardjo ialah sebutan untuk petisi yang diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda. Petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh I.J. Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawarahan.
a.       Reaksi
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan nasional ini mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Pers Belanda, seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Golongan reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengan cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini. Menurut harian Pemandangan saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda.
b.      Sidang
Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936. Pada tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.

c.       Usulan baru
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.

Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.

d.      Petisi ditolak
Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian pada masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.[2]
3.      Contoh Petisi
Aduan Mahasiswa Indonesia untuk MenRistekDikti yang Baru!
Description: https://assets.change.org/photos/6/am/dc/JfAMDcIfmJHFDQb-800x450-noPad.jpg?1423791270










Masyarakat di Indonesia tentunya selalu mendambakan Perguruan TInggi yang memberikan pengajaran yang berkualitas dan terjangkau. Namun kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Mulai tahun 2013, pemerintah menerapkan sistem UKT bagi mahasiswa baru. Sistem pembayaran kuliah yang dianggap lebih meringankan, justru carut marut di lapangan. Banyak mahasiswa yang dibebankan UKT tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya. Penggolongan UKT yang di bagi dalam 6 golongan, pembagiannya tidak proporsional dalam hal besaran UKT, range penghasilan, selisih antar golongan, dll.
Pihak universitas juga berkilah/terpaksa banyak membebankan mahasiswanya dengan jumlah UKT yang besar. Karena butuh banyak biaya untuk operasi perkuliahan. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) selama ini terlalu rumit dalam hal pengajuan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Pencairan dana BOPTN juga kerap tertunda dan bermasalah. Hal ini menyebabkan daya serap Perguruan Tinggi terhadap BOPTN sangat rendah.
Belum lagi dengan beasiswa dari Dikti yang masih minim. Bidik Misi, PPA, BBP masih sangat sulit diakses, terutama bagi mahasiswa di PTS.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan baru bahwa Mahasiswa 2014 dan tahun-tahun berikutnya, harus lulus dalam waktu 5 tahun.
Berangkat dari berbagai kegelisahan tersebut, kami dari Forum Advokasi UGM bersama dengan beberapa elemen-elemen mahasiswa lain (BEM/LEM/LM/HMJ) di UGM/Universitas-universitas di DIY menuntut Bapak Menteri RistekDikti Muhammad Nasir untuk:
1.      Mendorong setiap perguruan tinggi di Indonesia untuk mengakomodir mahasiswa
2013-2014 yang keberatan dengan UKTnya untuk diberikan keringanan UKT, melalui penundaan ataupun penurunan golongan.
2.      Menerapkan kebijakan UKT Berkeadilan dengan 10 Golongan bagi mahasiswa 2015.
3.      Memberlakukan kebijakan BOPTN dengan prinsip useable, accessable, akuntabilitas dan transparan demi tercapainya penggunaan yang efektif dan efisien.
4.      Memberlakukan kebijakan Beasiswa yang proporsional dengan mempertimbangkan prestasi, kemampuan ekonomi dan jumlah mahasiswa yang membutuhkan.
5.      Mencabut ketentuan pembatasan masa studi sarjana selama 5 tahun/10 semester. 

Demikianlah petisi ini kami buat dengan segenap keresahan dan harapan kami terhadap nasib perguruan tinggi di Indonesia. Petisi ini akan diserahkan langsung kepada Bapak MenRistekDikti dalam kunjungannya di Yogyakarta, 22 November 2014. Bangkit bergerak, atau diam tertindas. Karena diam adalah penghianatan[3].

Forum Advokasi UGM


2014



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Petisi
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Petisi_Soetardjo
[3] https://www.change.org/p/muhammad-nasir-aduan-mahasiswa-indonesia-untuk-menristekdikti-yang-baru

Komentar

Postingan Populer